Daftar Isi:
1. Muqaddimah
2. Kelahiran KH. Ma’shum Ahmad
3. Pendidikan KH. Ma’shum Ahmad
4. Kemuliaan KH. Ma’shum Ahmad Disaksikan oleh Syaikh Kholil
5. Pernikahan KH. Ma’shum Ahmad
6. Tirakat KH. Ma’shum Ahmad
7. KH. Ma’shum Ahmad Merintis Berdirinya Pesantren
8. Pengabdian KH. Ma’shum Ahmad
9. Karamah KH. Ma’shum Ahmad
10. NU Ada di Dada KH. Ma’shum Ahmad
11. Kewafatan KH. Ma’shum Ahmad
1. Muqaddimah
Kyai besar dan waliyullah yang amat dihormati di kalangan umat Islam ini, yang biasa disapa Mbah Ma’shum, adalah salah satu dari dua “Gembong Kyai” asal Lasem selain Kyai Baidhowi Abdul Aziz. Beliau senantiasa menjalin silaturahmi, jujur, mengayomi, menghormati tamu dan teguh menjaga kebenaran.
Seluruh hidupnya diabdikan kepada masyarakat, terutama kaum papa. Beliau bahkan menganggap pengabdian ini sebagai laku tarekatnya. Menurut Denys Lombard, ahli sejarah terkenal: “(Mbah Ma’shum) adalah seorang guru (kyai) dari Lasem yang kurang dikenal di tingkat nasional, namun kematiannya pada tahun 1972 menimbulkan guncangan hebat dari satu ujung jaringan ke ujung jaringan lainnya.”
2. Kelahiran KH. Ma’shum Ahmad
Nama aslinya adalah Muhammadun, diperkirakan lahir sekitar tahun 1870 M. Ayahnya bernama Ahmad, seorang saudagar. Dari jalur ayahnya, beliau masih punya hubungan darah dengan Sultan Minangkabau, dan silsilahnya bersambung hingga ke Rasulullah Saw.
Ibunya bernama Nyai Qosimah. Mbah Ma’shum punya dua saudara, yakni Nyai Zainab dan Nyai Malichah.
3. Pendidikan KH. Ma’shum Ahmad
Sejak kecil Mbah Ma’shum telah dikirim ke beberapa pesantren untuk mendalami ilmu agama, diantaranya kepada Kyai Nawawi Jepara, Kyai Ridhwan Semarang, Kyai Umar Harun Sarang, Kyai Abdus Salam Kajen, Kyai Idris Jamsaren Solo, Kyai Dimyati Termas, Kyai Hasyim Asy’ari Jombang dan Kyai Kholil Bangkalan.
Di Mekah beliau berguru kepada Syaikh Mahfudz at-Turmusi dari Termas.
4. Kemuliaan KH. Ma’shum Ahmad Disaksikan oleh Syaikh Kholil
Tanda-tanda keutamaan Mbah Ma’shum telah diketahui secara kasyaf oleh Mbah Kholil Bangkalan, seorang wali quthub yang amat masyhur.
Dikisahkan, sehari sebelum kedatangan Mbah Ma’shum ke Bangkalan, Mbah Kholil menyuruh para santri membuat kurungan ayam. Kata Mbah Kholil: “Tolong aku dibuatkan kurungan ayam jago. Besok akan ada ayam jago dari tanah Jawa yang datang ke sini.”
Begitu Mbah Ma’shum datang, yang saat itu usianya sekitar 20-an tahun, beliau langsung dimasukkan ke dalam kurungan ayam itu.
Mbah Ma’shum disuruh oleh Mbah Kholil untuk mengajar kitab Alfiyah selama 40 hari. Yang aneh, pengajaran dilakukan oleh Mbah Ma’shum di sebuah kamar tanpa lampu, sedangkan santri-santrinya berada di luar.
Mbah Ma’shum hanya 3 bulan di Bangkalan. Ketika hendak pulang, Mbah Kholil memanggilnya dan didoakan dengan doa sapujagad. Lalu, saat Mbah Ma’shum melangkah pergi beberapa meter, beliau dipanggil lagi oleh Mbah Kholil dan didoakan dengan doa yang sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.
5. Pernikahan KH. Ma’shum Ahmad
Mbah Ma’shum menikah dua kali, nama istri pertama ada beberapa versi, sedangkan istri kedua adalah Nyai Nuriyah. Putra pertama Mbah Ma’shum, Kyai Ali Ma’shum, kelak menjadi pemimpin Pesantren Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan menjadi salah satu tokoh NU yang terkenal di tingkat nasional.
6. Tirakat KH. Ma’shum Ahmad
Sejak muda Mbah Ma’shum sudah hidup zuhud. Beliau sempat menjadi pedagang baju hasil jahitan Nyai Nuri, juga berjualan nasi pecel, lampu petromak, sendok, garpu, konde dan peniti.
Sembari berdagang beliau juga menyempatkan diri untuk mengajar umat dan secara rutin berkunjung ke Tebuireng untuk mengaji kepada Kyai Hasyim Asy’ari, walau dari segi usia Mbah Ma’shum lebih tua.
Mbah Ma’shum berhenti berdagang setelah bermimpi bertemu Rasulullah Saw. beberapa kali, dimana Kanjeng Rasul Saw. menasihatinya agar meninggalkan perdagangan dan beralih menjadi pengajar umat.
Mimpi itu terjadi di beberapa tempat, di Stasiun Bojonegoro, saat antara tidur dan terjaga, beliau berjumpa Kanjeng Rasul Saw. yang memberinya nasihat: “La khaira illa fi nasyr al-‘ilmi” (Tiada kebaikan kecuali menyebarkan ilmu).
Beliau juga bermimpi bersalaman dengan Kanjeng Rasul Saw., dan setelah bangun tangannya masih berbau wangi. Beliau juga bermimpi bertemu Nabi Saw. sedang membawa daftar sumbangan untuk pembangunan pesantren dan berpesan kepada Mbah Ma’shum: “Mengajarlah. Dan segala kebutuhanmu insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.”
Ketika dikonsultasikan dengan Kyai Hasyim Asy’ari, yang biasa memanggil Mbah Ma’shum dengan sebutan Kangmas Ma’shum karena sudah amat akrab, mengatakan mimpi itu sudah jelas dan tak perlu lagi ditafsirkan. Setelah mimpi-mimpinya itulah beliau menetap di Lasem dan istiqamah mengajar.
7. KH. Ma’shum Ahmad Merintis Berdirinya Pesantren
Sebelum mendirikan pesantren, beliau berziarah dulu ke beberapa makam waliyullah, seperti makam al-Habib Ahmad bin Abdullah ibn Tholib Alattas, Sapuro, Pekalongan. Menurut Mbah Ma’shum, saat berziarah pada malam Jum’at, al-Habib Ahmad Alattas menemuinya dan memimpin doa bersama. Setelah itu Mbah Ma’shum keliling kota meminta sumbangan dan berhasil mendapatkan sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membangun pesantren.
Selain ke makam al-Habib Ahmad, beliau juga sering mendatangi haul al-Habib Ali al-Habsyi Kwitang, Jakarta, dan ke makam Mbah Jejeruk (Sultan Mahmud) di Binangun Lasem. Setiap kali berziarah ke makam Mbah Jejeruk ini Mbah Ma’shum selalu membaca Shalawat Nariyah 4444 kali dalam sekali duduk.
Mbah Ma’shum juga istiqamah mengamalkan doa Nurun Nubuwwah selepas shalat Shubuh dan Ashar.
Setelah beberapa lama mengembangkan pondok, pesantrennya kemudian dinamakan Pesantren al-Hidayat. Tetapi agresi Belanda tahun 1949 membuat Mbah Ma’shum harus mengungsi dan pesantren mengalami masa vakum sampai situasi tenang dan aman kembali.
8. Pengabdian KH. Ma’shum Ahmad
Mbah Ma’shum selama mengajar banyak berperan aktif langsung dalam pendidikan santrinya. Beliau juga memiliki kebiasaan mengajar beberapa kitab yang diajarkan terus-menerus berulang-ulang (artinya jika kitab itu khatam, maka akan dimulai lagi dari awal). Diantaranya adalah pelajaran al-Quran, Fathul Qarib, Fathul Wahhab, Jurumiyah, Alfiyah,al-Hikam Ibn Athaillah, dan Ihya ‘Ulumiddin.
Mengenai kitab al-Hikam ini Mbah Ma’shum menyatakan bahwa beliau mengkhatamkannya sebanyak usia beliau. Mengenai Kitab Ihya’, beliau berujar: “Saya khawatir kalau melihat santri yang belum pernah khatam kitab Ihya tapi sudah berani memberikan pengajaran kepada umat. Yah, semoga saja dia selamat.”
Fathul Wahhab juga dikhatamkan sebanyak usianya, sehingga beliau pernah berkata bahwa ilmu fiqh telah ada di dalam dadanya.
Ketika beliau sudah berusia lanjut, kebanyakan santri yang datang kepadanya umumnya punya tujuan utama tabarrukan atau mengambil barokah spiritualnya.
Dalam hal mengajar para santri, Mbah Ma’shum amat disiplin dan istiqamah, sebab istiqamah adalah lebih utama ketimbang seribu karamah. Beliau juga tak segan-segan menegur khatib Jum’at yang khotbahnya terlalu lama dengan cara bertepuk tangan.
Banyak muridnya yang menjadi kyai besar, seperti Kyai Abdul Jalil Pasuruan, Kyai Abdullah Faqih Langitan, Kyai Ahmad Saikhu Jakarta, Kyai Bisri Mustofa Rembang, Kyai Fuad Hasyim Buntet Cirebon, dan masih banyak lagi.
9. Karamah KH. Ma’shum Ahmad
Sebagaimana umumnya para wali, Mbah Ma’shum juga dikaruniai karamah. Beliau tahu kapan dirinya akan meninggal.
Ketika Kyai Baidhowi wafat pada 11 Desember 1970, Mbah Ma’shum menyatakan bahwa 2 tahun lagi dirinya akan wafat. Pernyataan ini kemudian menjadi kenyataan. Menurut seorang saksi, Mbah Ma’shum ketika di depan jenazah Mbah Baidhowi, beliau seperti berbicara dengan almarhum, dan berkata: “Ya, 2 tahun lagi saya akan menyusul.”
Karamah lainnya adalah firasat yang tajam, mengetahui isi pikiran orang. Ada satu kisah karamah lain yang menunjukkan ketinggian kedudukan spiritualnya. Dikisahkan bahwa suatu waktu seusai shalat Dhuha, beliau dipijiti oleh santrinya yang bernama Ahmad hingga tertidur. Mendadak di luar kamar terdengar ada tamu menyampaikan salam. Ada sembilan orang tamu berwajah habaib, duduk melingkar di ruang tamu. “Mbah Ma’shum ada?” tanya salah satu dari mereka.
Oleh Ahmad dijawab masih tidur, sambil menawarkan untuk membangunkannya.
“Tidak usah,” kata tamu itu. Lalu para tamu itu berbicara satu sama lain dengan bahasa yang aneh, kemudian mereka membaca shalawat lalu berpamitan.
Begitu para tamu beranjak keluar, Mbah Ma’shum memanggil Ahmad. “Ada apa Mad?”
Setelah dijelaskan, Mbah Ma’shum menyuruh Ahmad memanggil tamunya itu. Namun dalam waktu sesingkat itu para tamu itu sudah menghilang. Kemudian Mbah Ma’shum memberi tahu bahwa mereka adalah Wali Songo, dan yang berbicara tadi adalah Sunan Ampel. Setelah memberi tahu jati diri mereka, Mbah Ma’shum tidur lagi.
Mbah Ma’shum juga terkenal dengan sebutan Kyai Bulus yang artinya mengajar murid-muridnya tanpa disertai keterangan-keterangan yang diperlukan si murid. Beliau hanya membaca kitab dengan memaknai perkalimat saja, itupun dengan suara yang tidak jelas (nggremeng bahasa Jawanya).
Yang penting dibaca, faham gak faham ya silahkan. Seakan murid-murid beliau setelah diajar ditinggalkan begitu saja, sama seperti bulus (kura-kura) yang bertelur di pantai dibiarkan begitu saja tanpa dierami menetas sendiri.
Namun anehnya murid-murid beliau mempunyai kefahaman yang lebih dari ketika ngaji di selain kyai yang satu ini.
Kisah lainnya adalah ketika Mbah Ma’shum kehabisan persediaan beras. Lalu Mbah Ma’shum memimpin istighatsah dengan membaca petikan sajak dari syair al-Burdah:“Wahai makhluk paling mulia (Muhammad), aku tak ada tempat berlindung kecuali kepadamu pada peristiwa malapetaka besar”, sebanyak (kurang lebih) 80 kali, dan dilanjutkan doa memohon rizki.
Dan pada saat itu seorang peserta, Ibu Nadhiroh menyela: “Amin, Mbah, (beras) 1 ton.”
Mbah Ma’shum membalas: “Tidak 1 ton, tapi lebih.”
Beberapa hari kemudian datang beberapa orang memberi beras yang banyak sekali. Karamah mendatangkan beras ini sering terjadi.
Dalam riwayat lain diceritakan Mbah Ma’shum pada suatu pagi seusai mengajar Alfiyah memanggil 12 santrinya, mengajak mereka mengamini doanya. Doanya sederhana saja, tanpa mukadimah dan tanpa penutup: “Ya Allah Gusti, saya minta beras.”
Jam 11 siang datang becak mengantar beberapa karung beras. Pada karung itu tertulis nama alamatnya pengirim dari Banyuwangi. Suatu ketika Mbah Ma’shum mengunjungi alamat itu, dan ternyata alamat itu adalah sepetak kebun pisang di daerah pedalaman dan di situ masyarakatnya tidak ada yang kelebihan rizki sama sekali.
10. NU Ada di Dada KH. Ma’shum Ahmad
Sebagai kyai NU beliau juga gigih berjuang mendukung membesarkan NU bersama kyai-kyai lainnya. Beliau amat mencintai organisasi ini, sehingga beliau menyatakan tidak ridha jika anak keturunannya tidak mengikuti NU.
Bahkan Mbah Ma’shum sendiri selalu didatangi oleh banyak kyai jika ada urusan penting di tubuh NU untuk meminta nasihat dan doanya. Misalnya ketika hangat-hangatnya pembentukan Jam’iyyah Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah, Mbah Ma’shum termasuk yang setuju, dan bahkan menjadi salah satu “petinggi” organisasi tarekat itu, walaupun beliau sendiri tidak mengamalkan praktik-praktik tarekat.
Menurutnya: “Saya sudah menggunakan tarekat langsung dari Kanjeng Nabi Muhammad Saw., yakni berupa Hubb al-Fuqara’ wa al-Masakin (mencintai kaum fakir miskin).”
Selain itu banyak pula tokoh lain yang sowan kepada beliau guna meminta doa restu. Hal ini juga dilakukan oleh Profesor Kyai Haji Mukti Ali saat diangkat menjadi menteri agama.
Mbah Ma’shum bersedia mendoakan Mukti Ali jika dia mau mengikuti sarannya, yang salah satunya menunjukkan kebesaran jiwanya: “Engkau jangan sekali-kali membenci NU. Sebab membenci NU sama dengan membenci aku, karena NU itu saya yang mendirikan bersama-sama ulama lain. Tetapi engkau pun jangan membenci Muhamadiyyah. Jangan pula membenci PNI dan partai lain. Kau harus dapat berdiri di tengah-tengah dan berbuat adil terhadap mereka.”
Ketika pecah huru-hara PKI, Mbah Ma’shum terpaksa melakukan perjalanan dari kota ke kota, karena beliau termasuk tokoh yang diincar hendak dibunuh oleh PKI.
11. Kewafatan KH. Ma’shum Ahmad
Mbah Ma’shum wafat pada tanggal 14 Rabi’ul Awal tahun 1392 H atau bertepatan dengan tanggal 28 April tahun 1972 M jam 2 siang, setelah shalat Jum’at.
Upacara pemakamannya dibanjiri massa yang ingin memberikan penghormatan terakhir. Pemakamannya dihadiri oleh banyak tokoh ulama, petinggi partai politik dan pejabat pemerintah.
0 Response to "Manaqib KH. M.Ma'shoem Ahmad Lasem (1870-1972)"
Posting Komentar